Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, Februari 03, 2008

MAHASISWA,-- BUKU, -- dan PULSA

Dalam sebuah penelitian terungkap bahwa kebanyakan mahasiswa lebih mementingkan membeli pulsa HP daripada membeli buku. Fakta ini tidak mengejutkan karena masyarakat sudah tahu suasana umum kehidupan mahasiswa kita. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada kelompok minoritas mahasiswa yang serius dengan studi yang sedang mereka tempuh, kita mengerti lebih banyak mahasiswa yang itu tadi; lebih suka menikmati komunikasi dengan HP daripada membaca dan menambah koleksi bukunya. Bahkan mungkin lebih dari itu, banyak mahasiswa lebih mendahulukan rokok daripada kartu keanggotaan perpustakaan.

Memang saat ini berkomunikasi dengan HP merupakan hal yang sangat umum. HP sudah menjadi kebutuhan standar seorang mahasiswa. Kita juga tahu dalam berkomunikasi dengan HP sebagian di antaranya memang penting. Namun ketika kebutuhan akan pulsa diletakkan di atas kebutuhan akan buku, dan hal ini terjadi di kalangan mahasiswa, rasanya jadi ironis. Sebab selayaknya buku menjadi kebutuhan utama bagi siapa saja yang sedang menuntut ilmu. Tapi mengapa buku telah terdesak ke belakang oleh pulsa? Pertanyaan ini akan mengundang berbagai jawaban. Rupanya buku belum menjadi sahabat para para mahasiswa karena minat baca mereka ternyata masih rendah. Mengapa minat membaca rendah, mungkin mereka belum bercaya bahwa buku mampu mengubah secara evolutif dirinya menjadi orang kaya dalam hal ilmu dan pengetahuan. Juga dalam hal kematangan, baik kematangan intelektual maupun emosional. Bahkan menurut Mochtar Pabottinggi, peneliti utama LIPI beberapa waktu lalu, salah satu sebab ketertinggalan bangsa Indonesia adalah kegagalannya menjadikan buku sebagai sumber inovasi kehidupan. Hal ini terbukti dengan sangat nyata pada bangsa Jepang yang terkenal sangat suka membaca. Kemajuan dan kemakmurannya sulit ditandingi. Bahkan kecerdasan anak-anak Jepang menempati tingkat tertinggi di dunia.


Atau lebih celaka lagi kalau ada mahasiswa beranggapan dirinya bisa menjadi orang pandai (!) hanya dengan membaca secara terpaksa beberapa buku wajib. Namun bila para mahasiswa itu hanya menginginkan gelar sarjana, ya sudah. Mereka tidak sedikit pun celaka. Karena di seluruh wilayah negeri ini bertebaran sarjana dari berbagai jurusan dan mereka hanya membaca sedikit buku dan lebih sedikit lagi menulis. Para sarjana semacam ini diproduksi massal oleh lembaga-lembaga pendidikan gurem yang lebih mengutamakan keuntungan uang daripada mutu sarjana yang mereka hasilkan. Lembaga semacam ini sering menjadi alat bagi kalangan birokrasi yang membutuhkan tenaga asal bergelar sarjana untuk menempati posisi-posisi yang mempersyaratkan gelar, bukan kecakapan maupun keterampilan. Kembali ke masalah mahasiswa, buku dan pulsa. Fakta bahwa banyak mahasiswa lebih mengutamakan pulsa HP daripada buku tentu menjadi hal yang tidak menggembirakan. Namun sebenarnya mereka tidak bisa begitu saja dipersalahkan karena mereka adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat kita. Perilaku mereka adalah produk budaya masyarakat yang melahirkannya.


Mengapa mereka lebih suka pulsa daripada buku juga mencerminkan watak masyarakat kita yang lebih suka terhadap sesuatu yang segera bisa dinikmati daripada hal-hal yang baru membuahkan hasil di masa depan. Ya, pulsa adalah hal yang bisa langsung dinikmati sebagai sarana keasyikan berhaha-hehe, ngerumpi atau pacaran. Sedangkan buku adalah investasi budaya yang baru bisa dinikmati hasilnya kelak, bahkan membacanyapun memerlukan keseriusan yang memakan energi tidak sedikit. Maka umumnya mahasiswa lebih menyukai pulsa daripada buku, suatu hal yang merupakan duplikasi dari watak masyarakat yang melahirkan mereka.


Betapa kita seperti kurang berminat dalam hal berinvestasi kebudayaan terlihat misalnya dalam dunia pendidikan. Amanat UUD agar pendidikan dianggar 20 persen dari APBN hingga kini belum terlaksana meskipun kita sudah merdeka selama lebih dari 60 tahun. Perbukuan sebagai bagian dari amat penting dari upaya memajukan kehidupan bangsa masih begitu menyedihkan. Harganya mahal, pajaknya tinggi, kualitasnya kurang terjaga. Dan tidak seperti di negeri tetanga Malaysia misalnya, kehidupan para penulis buku di Indonesia rata-rata masih sengsara. Di Malaysia karya para penulis buku sangat dihargai oleh pemerintah. Buku-buku itu dibeli dan disebarkan ke masyarakat dengan subsidi sehingga penulisnya bisa hidup layak. Dan karena dibanjiri dengan buku-buku maka masyarakat jadi terbiasa membaca.


Entah kapan kita mampu membangun kondisi di mana buku dibaca karena dipercaya mampu mendatangkan faedah yang besar untuk kemajuan hidup. Entah kapan para mahasiswa kita menjadi pecandu buku karena percaya dengan banyak membaca mereka anak berkembang menjadi orang pandai. Kapan? Jawabnya, kalau masyarakat Indonesia sudah yakin bahwa buku ternyata sudah berhasil membimbing kemajuan dunia. Sayang keyakinan seperti itu hanya ada pada masyarakat yang mau sungguh-sungguh belajar dari sejarah. Dan sejarah kita membuktikan bahwa kita kurang suka membaca buku. Maka kita juga tidak terkejut bila ternyata para mahasiswa kita pun lebih suka pulsa daripada buku.

(Ahmad Tohari )
www.republika.co.id



Tidak ada komentar: